Home Artikel Rohani Kristen Peristiwa Akhir Zaman Tuhan Adalah Gembalaku – Mazmur 23

Tuhan Adalah Gembalaku – Mazmur 23

TUHAN ADALAH GEMBALAKU – Mazmur 23
sumber: https://berjagajaga.wordpress.com/2015/06/13/tuhan-adalah-gembalaku/

Mazmur 23 adalah salah satu Mazmur yang sangat banyak dikhotbahkan dan dikutip oleh para pengajar, penginjil dan orang Kristen. Mengapa? Karena di dalam Mazmur ini, terdapat bukan saja kata-kata yang indah sebagaimana layaknya puisi Orang Ibrani, melainkan mengandung kekayaan teologis yang tidak ternilai tentang janji pemeliharaan Tuhan atas umatNya.

Mazmur ini ditulis oleh Daud dan digolongkan ke dalam mazmur nyanyian. Disebut demikian karena Daud menyusun puisi ini sebagai ekspresi murni berupa ucapan syukur atas pemeliharaan Tuhan di dalam dan sepanjang hidupnya. Daud merasa bahwa tanpa Tuhan, dia bukan apa-apa ! Keyakinan yang samalah, yang seharusnya menjadi alasan dan mendorong kita untuk terhubung pada Tuhan, sebagaimana Daud telah melakukannya.
Kita akan belajar mengenai menjadi ungkapan isi hati Daud di dalam Mazmur 23

Tuhan adalah gembalaku, tak-kan kekurangan aku, Daud memberikan satu penegasan bahwa, dalam hidupnya, Tuhan digambarkan sebagai sosok gembala. Kita mengamati bahwa seorang gembala tidak pernah jauh dari domba-dombanya. Gembala mengenal dombanya dan demikian sebaliknya.

Tugas seorang gembala sangatlah penting. Dia tidak saja mencukupi kebutuhan domba dengan memberi mereka makan, juga berjaga-jaga dari ancaman musuh. Gembala selalu bersama-sama dengan domba-dombanya. Itulah sebabnya dari sisi domba, dirinya akan merasa aman selama dia berada disamping gembalanya.

Daud menyadari bahwa hubungannya dengan Tuhan bukanlah sebuah hubungan simbiosis mutualisme, sebuah hubungan saling menguntungkan antara dua belah pihak. Hubungan Daud dengan Tuhan jauh melebihi kebutuhan-kebutuhan di dalam diri Daud sendiri dan itulah yang disebut dengan intimacy (keintiman).

Daud mau menjelaskan bahwa Tuhan yang digambarkannya sebagai gembala itu adalah Tuhan yang selalu menuntun hidup Daud dan selalu berjalan bersamanya dan memenuhi apapun yang menjadi kebutuhannya. Itulah sebabnya, ketika spiritual connection ini berlangsung, maka kebutuhan akan terpenuhi dengan sendirinya. Tak-kan kekurangan aku, adalah ‘sebab-akibat’ dari pernyataan Daud yang menjadikan Tuhan sebagai gembalanya.

Pesan yang disampaikan di dalam kidung pembuka ini sangat jelas bagi kita, bahwa selama kita menjadikan Tuhan sebagai gembala dan selama kita juga mau menjadi domba yang baik bagi gembala itu, maka apapun yang menjadi kebutuhan kita, tersedia, sebagaimana seorang gembala menjamin kebutuhan domba-dombanya, mulai dari kebutuhan fisik, rasa aman, ketentraman dan hal-hal lainnya yang non material. Bagaimana dengan anda? Sudahkah anda menjadikan Tuhan sebagai gembala, sebagaimana Daud lakukan? Sudahkah anda menjadi domba yang baik?

“Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku.”

Terlihat ada paralel di dalam kalimat tersebut. Perhatikan kata ‘Ia membimbing’ dan kata ‘ Ia menuntun’. Keduanya menjelaskan fungsi memandu atau mengarahkan. Daud memberikan metafora bahwa pengarahan dari Tuhan di dalam hidupnya membawanya pada padang yang berumput hijau.
Maksudnya sebetulnya bukanlah berumput hijau tetapi berumput segar! Coba seandainya itu adalah makanan, maka kesegaran makanan itu akan memulihkan banyak hal di dalam stamina tubuh. Berbeda jika makanan itu basi atau layu.
Demikian juga jika yang segar itu adalah sebuah tempat beristirahat. Kenyamanan menjadi salah satu standard kualitasnya. Itulah yang Daud rasakan di dalam hidupnya, pemberian terbaik dari Tuhan, dalam sebuah padang penggembalaan terbaik. Sesuatu yang selalu baru diterimanya disana.

Bahkan Daud menegaskannya Tuhan yang menjadi gembalanya itu tidak pernah membawanya ke air yang bergolak melainkan ke air yang tenang. Mengapa Daud mengatakan demikian? Air tenang menunjukkan tempat peristirahatan yang menyegarkan seperti ketika seorang musafir menemukan oase di tengah padang pasir dari perjalanannya yang melelahkan. Tujuan Daud dalam baris nyanyian ini adalah kalimat terakhir. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya.

Perhatikan frasa ‘menuntun di jalan yang benar’. Inilah hal luar biasa yang menjadi pengalaman Daud bersama Tuhan. Jika melihat pengalaman hidupnya, ditengah kesulitan hidup sekalipun, saat terjepit, saat dihadang musuh, saat dalam pelarian, tidak sedikitpun Daud meninggalkan Tuhan. Dia selalu mencari kehendak Tuhan sebelum mengambil keputusan di saat-saat seperti itu. Kontrasnya terlihat saat dia gegabah melangkah memenuhi keinginan dagingnya sewaktu menghampiri Batsyeba. Keputusan di luar Tuhan menghasilkan sejumlah konsekuensi yang harus dipikulnya. Daud menyadari bahwa tanpa Tuhan, maka jalan yang dilaluinya adalah jalan yang pasti salah.

Nama Tuhan menjadi penting di dalam kalimat tersebut. Ada dua alasan penting. Nama Tuhan disebut sebagai tanda mengenali-Nya dan sebagai tanda seruan kepada-Nya. Daud mengenal Tuhan-nya sehingga berseru kepada-Nya.

Bagaimana dengan kita? Seringkali kita mengambil keputusan yang salah di dalam hidup dan melalui jalan yang menurut kita benar. Akibatnya, sejumlah konsekuensi telah menanti untuk kita tanggung. Hal itu terjadi karena kita meninggalkan Tuhan dan bertindak sendiri. Dalam kelelahan karena menjalani hidup dengan sejumlah persoalannya, kita dapat semakin ‘tenggelam’ sewaktu meninggalkan Tuhan. Energi menjadi terkuras habis dan kita tidak mendapat tempat dimana kita disegarkan kembali. Itulah konsekuensi jika tidak terhubung dengan Tuhan. Sebaliknya, dalam kelelahan dan segala daya yang mungkin terkuras habis, Tuhan memberikan satu tempat yang mere-fresh kita kembali dan mengarahkan ‘jalan’ hidup kita yang mungkin melenceng.

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku.
Apakah lembah kekelaman? Kita harus mengerti jalan pikiran Daud akan hal itu. Berkali-kali di dalam hidupnya, Daud diperhadapkan pada situasi atau kondisi dimana satu-satunya pilihannya adalah berhadapan dengan situasi tersebut. Dimana orang lain bisa menghindar atau memilih lari, Daud justru sebaliknya, tidak punya pilihan selain berada di sana.

Lembah kekelaman memiliki arti tentang sebuah tempat yang tidak pasti, menantang bahaya, berada di dalam persoalan, penuh dengan resiko dan musuh bisa saja datang secara tiba-tiba. Sungguh rentan berada di dalam lembah semacam itu. Berkali-kali saja Daud di dalam perjalanan hidupnya ditempatkan di dalam situasi demikian. Tetapi Daud tidak takut. Mengapa? Ada keyakinan yang sangat kuat di dalam dirinya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Itu sebabnya Daud berkata ‘aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku’. Kata ‘beserta’ artinya ‘ada bersama-sama’. Artinya, Tuhan senantiasa ada bersama-sama dengan Daud di dalam situasi apapun.

Melalui puisi tersebut Daud bahkan membeberkan bahwa Tuhan yang ada bersama-sama dengan dia tersebut memiliki gada, senjata yang digunakan di dalam pertempuran satu lawan satu, jarak pendek, dan meneguhkan bahwa di dalam situasi yang unpredictable itu, otoritas (dilambangkan dengan tongkat), berada di tangan Tuhan.

Kekuatan Daud terletak pada keyakinannya dan itulah menjadi pelajaran bagi kita, bagaimana membangun satu strong conviction terhadap Tuhan di dalam segala aspek. Keyakinan itu hendaknya bukan saja di dalam situasi yang baik tetapi juga di dalam situasi buruk. Tetap percaya kepada Tuhan sekalipun berada di dalam situasi tak terjelaskan ! Maka, kita perlu merujuk kembali pada bagian awal perikop ini, bahwa hanya dengan intimacy-lah sebuah strong conviction bisa terbangun dan terbentuk.

Engkau menyediakan hidangan bagiku, dihadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Bermegah di dalam Tuhan, itulah tepatnya maksud Daud di dalam kalimat tersebut di atas. Bahkan, kemegahan itu dibangun dan ditegakkan dihadapan musuh. Bukan untuk mengejek atau mendiskreditkan tetapi untuk menjadi kesaksian yang menguatkan tema orang pilihan Tuhan. Perikop ini dimulai dengan kesimpulan ‘takkan kekurangan aku’. Maka di dalam ayat ini kembali ada penegasan dari Daud bahwa bahkan dihadapan lawanpun, apa yang menjadi kebutuhannya disediakan oleh Tuhan. Bukan saja itu, Daud memposisikan diri sebagai orang yang dipilih Tuhan sehingga berkata ‘Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak’. Pengurapan di zaman Daud bicara tentang orang yang terpilih, yang kepadanya Tuhan berkenan memberikan mandat tertentu.

Apa maksud Daud dengan piala? Dalam konteks ini, Tuhan digambarkan sebagai tuan rumah yang menjamu tamu-Nya. Pada waktu itu piala biasa digunakan untuk menampung sesuatu. Biasanya, sesuatu itu berharga dan terlihat di mata orang lain. Dengan mengatakan ‘pialaku penuh melimpah’ maka Daud menjadi sebuah kesaksian hidup dihadapan banyak orang, teman dan musuh-musuhnya, bagaimana ia menjadi satu pribadi yang hidupnya berada di dalam kemurahan Tuhan sepanjang waktu. Kemurahan itu menyebabkan Daud tidak saja mendapatkan sesuatu yang cukup, tetapi melimpah.

Pemenuhan secara berkelimpahan, terutama secara fisik, adalah tema penting di bagian ini. Melalui pemenuhan itu, kehidupan Daud dan juga kita menjadi sebuah kesaksian di hadapan kawan dan lawan. Sebagai orang-orang pilihan, ada sebuah hak istimewa (privilege) yang kita terima dan nikmati dari Tuhan.

Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku.
Daud memberikan satu kesimpulan dari apa yang dikemukakannya di ayat pertama, sebagai akibat dari Tuhan yang menjadi gembalanya. Kebajikan dan kemurahan mengikutinya. Jaminan itu bukan hanya sesaat, atau dalam rentang waktu tertentu. Melainkan seumur hidupnya !

Bagaimana dengan kita? Orang yang seperti ini artinya orang yang pergi kemanapun, selalu diikuti dengan hal-hal baik dan berhadapan dengan kemurahan. Apa yang dikerjakannya menjadi baik dan mendatangkan berkat. Sementara orang lain menemukan kesialan, atau diikuti dengan kegagalan, kita sebaliknya. Pernahkah anda membayangkan, sementara orang lain berusaha dan gagal, anda justru mencoba sedikit tetapi berhasil. Sementara orang lain mendapat hukuman atas kesalahan yang dilakukannya, anda malah diperingan. Sementara orang lain berhadapan dengan pintu yang tertutup, saat anda lewat justru pintu-pintu menjadi terbuka. Bukankah ini luar biasa?

Dan aku akan diam di dalam rumah Tuhan sepanjang masa.
Ini adalah sebuah kerinduan. Rumah Tuhan pada waktu itu adalah bait suci. Di dalam rumah-Nya, Tuhan berdiam. Siapa yang berada di dalam rumah-Nya, itulah yang bertemu dan bergaul dengan Dia. Kerinduan Daud terungkap di dalam perikop ini bahwa Tuhan menjadi segala-galanya di dalam hidupnya. Banyak orang menggambarkan ayat ini sebagai penutup eskatologis. Tetapi, tidak seperti itu. Rumah Tuhan yang dimaksud Daud adalah bangunan Bait Tuhan yang tak kunjung terwujud selama masa pemerintahannya.

Sungguh indah bukan? Tidak bosan-bosannya saya merenungkan Mazmur 23 ini. Selalu ada yang baru !

Tuhan memberkati !